Pendidikan yang Berkebudayaan

Humaira
6 min readJun 26, 2022

Pendidikan: Memerdekakan Individu, Menyejahterakan Masyarakat

Ketika mendengar kata “pendidikan”, apa yang terlintas dalam benak kita? Jargon-jargon terkait pendidikan begitu sering dilantangkan dalam berbagai kesempatan sehingga bahkan kata “pendidikan” itu sendiri terasa sebagai pameo. Pendidikan untuk menyongsong revolusi 4.0! Pendidikan demi kemajuan bangsa dan negara! Pendidikan acapkali dikerdilkan menjadi sebatas sekolah, tempat bekerja alumninya, atau tolok ukur seberapa sukses seseorang (terutama secara material).

Apakah hakikat pendidikan sesungguhnya? Dalam arti paling mendasar, pendidikan didefinisikan sebagai proses memanusiakan manusia, dalam artian manusia yang didudukkan sebagai makhluk hidup yang dengan segala keunikan yang dimilikinya serta tidak mereduksinya menjadi objek yang tidak memiliki diri. Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan dari pendidikan adalah menjadi manusia seutuhnya yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya.

Manusia yang hanya dapat beradaptasi terhadap lingkungan dan realita yang melingkupinya tanpa mengubahnya berarti dirinya hanyalah objek yang tereduksi nilai-nilai kemanusiaannya (dehumanized). Manusia semacam ini dapat dikatakan sebagai manusia yang tidak merdeka. Sebaliknya, manusia yang mau dan mampu melibatkan dirinya dalam mengolah fenomena lingkungan dan realita di sekelingnya sehingga ia menjadi subjek di lingkungannya adalah manusia yang menyadari eksistensinya di antara makhluk hidup lainnya. Manusia bisa mengubah posisinya dari objek menjadi subjek melalui suatu proses yang dinamakan pendidikan.

Berangkat dari definisi tersebut, maka, salah satu aspek penting dari pendidikan adalah kesadaran (consciousness). Kesadaran yang harus dimiliki manusia merdeka adalah kesadaran terhadap diri sendiri (as a self), kesadaran atas hubungan dirinya dengan realitas (termasuk realitas sosial) di sekitarnya sebagai bagian dari realitas (as a part of reality), dan kesadaran bahwa dirinya ada di dalam realitas tersebut, kesadaran atas kemampuannya untuk dapat terlibat dan mengubah lingkungan di sekitarnya (within the reality). Kesadaran ini tidak bisa hanya didapatkan dari tindakan berdialog untuk mendapatkan pengetahuan (refleksi) semata, tetapi juga melalui aksi, yang kesatuannya disebut praksis. Kesinambungan proses ini tidak digambarkan sebagai garis lurus, tetapi roda yang terus berputar — mengitari interaksi antarmanusia secara simultan.

Karena pendidikan bersifat memerdekakan sehingga membuat manusia dapat menjadi subjek dan mengubah lingkungan di sekitarnya, pendidikan pada hakikatnya tidak boleh mencerabut seseorang dari lingkungannya dari akarnya dan menumbuhkannya di tempat lain yang sama sekali baru, tetapi menumbuhkan seseorang di lingkungannya bersama lingkungannya. Pada kenyataannya, proses dan kurikulum pendidikan formal yang ada justru makin menjauhkan peserta didik dari dunia luar. Peserta didik difokuskan terhadap materi pembelajaran yang tidak terhubung dengan permasalahan dan kondisi dunia luar, yang pada prosesnya juga memutuskan hubungan tersebut. Keluaran pendidikan formal adalah manusia yang hanya merupakan objek, yang hanya beradaptasi terhadap realita tanpa tahu, mampu untuk tahu, apalagi mampu, untuk mengubahnya. Lebih parah lagi, jika falsafah dasar dari pendidikan yang digunakan adalah mencetak para pekerja yang “tidak kalah bersaing dan demi memajukan perekonomian bangsa”, maka pengetahuan yang diajarkan dalam ruang-ruang kelas harus tunduk mutlak pada tujuan mencetak manusia-manusia pemutar roda ekonomi. Pendidikan yang seharusnya menghasilkan manusia yang mampu mencari solusi dalam pemenuhan kebutuhan dirinya dan masyarakatnya, harus tunduk ke dalam sebuah sistem ekonomi. Jika begitu, maka seakan-akan manusia yang terdidik atau bahkan manusia pada umumnya ada untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, bukan ekonomi yang ada untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Proses pendidikan harus bekerja sama dengan masyarakat, tidak berpatok pada sebuah proses pendidikan yang hanya sekadar menurunkan pengetahuan (banking education) dan bersifat top-down. Dengan ini, para pendidik diharuskan untuk turun berdialog dengan masyarakat dan berani mengkritisi diri mereka sendiri. Pengetahuan yang didialogkan harus pula disesuaikan dengan konteks kehidupan keseharian masyarakat. Melalui ini, pengetahuan menjadi suatu hal yang hidup, berarti, dan memberi arti bagi mereka yang mempelajarinya. Alih-alih melakukan banking education, dilakukan problem-posing education menggunakan pengetahuan yang dimiliki para pendidik dan pengetahuan yang dimiliki para siswa sendiri untuk mendorong siswa mempertanyakan dan menantang ketidaksetaraan yang ada dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kemudian, tidak ada istilah “objek pendidikan”. Yang ada adalah hubungan subjek-subjek, hubungan guru-murid dan murid-guru.

Dalam lingkup komunitas, secara kolektif, pendidikan harus bersifat menyejahterakan. Amartya Sen (1999) memandang pendidikan dalam kerangka kesejahteraan, bahwa pendidikan adalah kapabilitas dasar. Kapabilitas yang dimaksud Sen adalah kesempatan (opportunity) dan kebebasan (freedom) untuk meraih (menjadi; being, dan melakukan; doing) apa yang dilihat seseorang secara reflektif sebagai sesuatu yang bernilai. Pendidikan adalah salah satu peluang sosial yang fundamental dalam mengembangkan kapabilitas dalam menciptakan kemerdekaan hakiki semua orang untuk hidup lebih baik dan layak. Namun, pendidikan bagai pisau bermata dua: ia menjadi wahana kesetaraan (yang dapat mengungkit kesejahteraan) dan kesenjangan sekaligus karena kesempatan (yang dapat dipandang sebagai akses) menuju pendidikan yang tidak setara. Lebih jauh lagi, pendidikan dapat menjadi wahana bagi kelompok tertentu untuk agenda tertentu, misalnya menjalankan dominasinya secara tidak terang-terangan. Banyak pencapaian yang terlihat seperti diraih melalui meritokrasi sebetulnya merupakan cermin ketidaksetaraan karena pencapaian tersebut diraih melalui akses-akses eksklusif (the meritocracy trap). Dalam bentuk yang lain, pendidikan juga bisa menjadi alat untuk menghasilkan hegemoni status quo (baik nilai maupun tatanan) yang ada.

Budaya

Budaya seringkali didefinisikan secara sempit sebagai makanan daerah, baju adat, atau hal-hal kasat mata lainnya. Padahal, arti budaya jauh lebih luas dibanding itu. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya adalah hasil pemikiran manusia yang menjadi cara hidupnya. Manusia bukan satu-satunya mahluk yang mengolah alam, tetapi ia adalah satu-satunya mahluk yang sekaligus juga mengolah budi (mind; nalar hanyalah salah satu aspek budi). Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia yang diperoleh dari proses belajar. Seperti lahan subur yang tidak membuahkan panen kecuali kita olah, demikianlah budi manusia tidak menghasilkan apa-apa kecuali kita olah dengan tekun, begitu kata Cicero.

Kita mengasosiasikan kata ‘budaya’ dengan tontonan, dan melupakan budaya tatanan dan tuntunan. Tatanan adalah sistem dan struktur yang ada di masyarakat, tuntunan adalah suatu gagasan atau mentifact yang dipegang oleh masyarakat kita dan dapat mengarahkan kita untuk bisa menjawab ataupun melakukan sesuatu, dan tontonan adalah budaya sebagai suatu bentuk yang dapat dirasakan oleh panca indra kita. Ketiga aspek ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain (tiga yang merupakan satu).

Kebudayaan menjadi landasan jati diri suatu bangsa berdasarkan keterikatannya ke tanah air, tradisi, dan bahasa. Salah satu cita-cita kebudayaan adalah merancang pendidikan untuk menghasilkan warga negara yang mempunyai visi mengenai kebaikan tertinggi bagi kehidupan bersama.

Pendidikan yang Berkebudayaan

Nelson Mandela pernah berucap, it takes a village to raise a child. Kita dapat melihat perkataan ini sebagai gambaran bagaimana pendidikan dan kebudayaan berhubungan. Ketika membesarkan seorang anak dan memberikannya pendidikan, desanya — budaya yang melingkupi dirinya — juga tentu memengaruhi pertumbuhannya. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan disposisi karakter seseorang — wahana pembentukan karakter kolektif.

Pendidikan tidak boleh melepaskan diri dari kebudayaan — pendidikan yang kontekstual adalah pendidikan yang berkebudayaan. Hatta menggambarkannya dengan tepat: “apa yang diajarkan dalam pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan adalah proses pembudayaan.” Selain itu, pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan yang merdeka berorientasi ganda: memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya. Pendidikan yang kontekstual berarti mengarah ke dalam dan ke luar. Mengarah ke dalam berarti berlandaskan ke-’diri’-an yang merupakan ciri khas tiap-tiap manusia, karena setiap manusia berbeda, dan mengarah ke luar berarti memperhatikan lingkungan serta tidak lepas dari kebudayaan.

Perlu diperhatikan bahwa kebudayaan merupakan bagian dari kesadaran diri sebagai bagian dari realitas, tetapi tidak seluruh kebudayaan dan cara hidup yang ada di sekitar kita merupakan budaya yang dianggap baik secara relatif oleh individu. Sehingga, dengan kesadaran bahwa kita ada di dalam realitas (termasuk budaya), kita menyadari bahwa budaya yang ada di sekitar bukanlah sesuatu yang saklek, yang given, tetapi dapat kita ubah. Budaya bersifat dinamis. Hal ini jangan ditukarkan dengan pandangan yang mengajarkan bahwa terdapat golongan tertentu yang dapat menentukan standar benar atau salahnya suatu kebudayaan. Praktik ini mereduksi masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut dan bertentangan dengan hakikat pendidikan yang seharusnya menghumanisasi. Budaya, selain menjadi navigasi, juga merupakan inspirasi untuk menimbulkan kesadaran, dan kesadaran yang dimaksud termasuk kesadaran bahwa budaya yang ada pada masyarakat dapat ‘didobrak’.

Perlu disadari bahwa budaya yang melahirkan manusia dan manusia juga yang melahirkan budaya. Kebudayaan tidak seharusnya memenjarakan dan menghambat perkembangan. Tatanan budaya yang ada pada garis lurus berwarna hijau dapat ‘didobrak’ apabila tidak sesuai dengan tatanan ideal yang dipercaya. Namun, memilih berjalan tetap dalam tatanan yang ada untuk berkontribusi juga bukan merupakan hal yang salah — pendidikan yang kontekstual.

Catatan:

Tulisan ini merupakan narasi besar materi dan metode kaderisasi awal terpusat di ITB yang dimuat dalam Buku Besar Materi dan Metode Kaderisasi Awal Terpusat ITB 2021, dan dimuat di medium ini dengan beberapa penyesuaian.

--

--